Kurikulum segera berubah pada 2013 untuk SD, SMP, SMA, dan SMK. Pihak
pemerintah menyebutnya sebagai "pengembangan kurikulum" bukan "perubahan
kurikulum." Saya kira pertimbangan pemerintah dengan penyebutan ini
terkait dengan dampak psikologisnya, bukan substansinya. Karena, bila
yang dipakai istilah "perubahan kurikulum" akan menggegerkan dunia
pendidikan kita akibatnya hal itu akan menambah kegalauan kolektif
bangsa ini. Senyampang sekarang ini tahap pengembangan kurikulum baru
sampai pada tahap uji publik, marilah kita yang ada di grup "Komunikasi
Antar-Guru Indonesia" di Facebook ini juga memberikan ulasan. Dengan
melihat substansi rencana pemerintah untuk mengembangkan kurikulum itu,
saya menggunakan istilah perubahan kurikulum Tak ada angin, tak
ada badai tiba-tiba saja pemerintah menggulirkan wacana perubahan
kurikulum yang kemudian dengan secepat kilat wacana itu berubah menjadi
isu kebijakan (bahan mentah kebijakan publik). Bahkan akhirnya sekarang
ini sudah sampai pada perumusan kebijakan pendidikan. Publik terpaksa
hanya dapat mengikuti kehendak pemerintah tanpa sempat melontarkan
argumen-argumen, baik yang pro maupun yang kontra dengan jadwal
pemberlakuan perubahan kurikulum 2013 yang ditetapkan dengan
semena-mena. Dilihat dari sudut pandang kebijakan publik, kebijakan
pendidikan yang diambil harus melalui tahap-tahap pembuatan kebijakan,
yakni: tahap perumusan masalah, tahap agenda setting, tahap formulasi
kebijakan, tahap legitimasi kebijakan, tahap implementasi kebijakan, dan
tahap evaluasi kebijakan (ada 6 tahap).
Kebijakan publik yang
hakiki adalah kebijakan yang dibuat dengan melibatkan publik, selain
otoritas resmi pembuat kebijakan (pemerintah). Perubahan kurikulum
menjadi Kurikulum 2013 kurang mengakomodasi pranata itu. Media massa
menyebutkan bahwa ide kebijakan perubahan kurikulum berasal dari
petinggi negara yang merasa keluaran pendidikan sekarang ini belum
memadai. Kemudian petinggi itu memerintahkan bawahannya untuk membentuk
tim perubahan kurikulum. Tim tersebut kemudian bertemu dan berdiskusi,
lalu keluarlah draft perubahan kurikulum.
Pertanyaan yang belum
terjawab adalah apakah perubahan kurikulum itu sudah melalui pengkajian
yang sangat mendalam, cermat, integratif terhadap hasil kurikulum
sebelumnya dari semua jenjang (SD, SMP, SMA, dan SMK) melalui penelitian
yang valid dan bukan hanya satu penelitian? Apakah kekurangan/kelemahan
sistem pendidikan harus diatasi dengan satu-satunya jalan yaitu
perubahan kurikulum? Apakah sudah diperhitungkan dengan mendalam dan
meluas dampak dari perubahan kurikulum tersebut?
Melihat
pertimbangan yang digunakan pemerintah untuk mengubah kurikulum dalam
Draft Kurikulum 2013 (yang cuma paparan sekilas presentasi dalam bentuk
Power Point, 72 halaman) terkesan rasional (alasan) pemerintah sangat
logis, dapat diterima publik, menggambarkan kondisi senyatanya. Bertolak
dari rasional itu, pemerintah berkesimpulan perlu perubahan kurikulum!
Benar bahwa kondisi akhlak, keterampilan, pengetahuan masyarakat kita
saat ini belum sesuai harapan bangsa. Benar bahwa kekurangan itu perlu
diperbaiki melalui pendidikan yang berkualitas. Namun, benarkah
satu-satunya jalan adalah perubahan kurikulum?
Perubahan
kurikulum adalah kebijakan publik berskala luas yang melibatkan
komponen-komponen waktu, keahlian, dana, peralatan, pengorbanan, kemauan
yang sangat masif. Waktu yang diperlukan untuk memulai kebijakan itu
tidak cukup dalam hitungan bulan. Dana yang diperlukan berjumlah
triliunan rupiah. Belum lagi berhitung tentang implementasi yang harus
menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia.
Memang rasional
perubahan kurikulum dan tujuannya baik. Bahkan sangat baik! Tetapi, saya
melihat butir demi butir, kalimat demi kalimat, peningkatan kualitas
sumberdaya manusia Indonesia saat ini tidak harus dan seharusnya harus
tidak dengan mengubah kurikulum. Perbaikan itu dapat dilakukan dengan
kebijakan-kebijakan skala kecil, misalnya bagaimana pendidikan karakter
dilakukan agar lebih berhasil; bagaimana peningkatan guru agar lebih
kompeten; bagaimana para murid agar lebih termotivasi.
Haruskah
kita sebagai bangsa disibukkan untuk urusan-urusan “peta perjalanan”
(kurikulum) padahal kita sudah tahu “arah tujuan” perjalanan kita. Waktu
sangat berharga dan semestinya kita gunakan untuk memperbaiki langkah,
melancarkan langkah, mempersingkat langkah, dan menghemat wacana-wacana
yang tidak substansial.
Jangan sampai buruk muka cermin
dipecah. Jangan sampai buruk mutu pendidikan kurikulum diubah. Proses
kurikulum sebelumnya belum tuntas, lalu kurikulumnya diberantas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar